Oleh: Daniel Ronda
Suatu pagi saya mendapat telepon seorang gembala dan dia langsung curhat. Dia kecewa karena ada sebagian majelisnya tidak menyukainya lagi setelah puluhan tahun bersama. Mulai dikritik kinerjanya, kemampuan khotbah di mimbar, kerajinannya bahkan istri dan keluarganya disinggung sebagai tidak mendukung pelayanan. Dengan nada yang tinggi seolah saya sasaran kemarahannya dia melontarkan kepedihannya bahwa betapa dia telah berjuang merintis dan memulai pelayanan dengan air mata serta segala pengorbanan telah diberikan selama bertahun-tahun. Sekarang apa daya, bak pepatah mengatakan “habis manis sepah dibuang”. Dia terus mengumbar kepahitan dan luka hatinya mulai hal-hal yang penting sampai hal-hal kecil. Tak terasa telinga panas saking lamanya menelpon, terpaksa saya pakai speaker HP untuk mendengar keluh kesahnya yang amat dalam dan pilu.
Yang lebih membuat pahit adalah kenyataan bahwa pimpinannya di daerah percaya akan cerita sebagian majelis ini dan memutasikannya ke tempat lain. Bukan soal mutasi katanya, tapi alasan pemindahan inilah yang tidak saya bisa pahami. Mengapa dia tidak mendengarkan saya sebagai gembala? Si pemimpin seolah dengar tapi sebenarnya tidak mendengarkan. Gembala menjadi kecewa karena tidak ada yang berpihak kepadanya. Dia menghibur dirinya dengan berkata, “Ya, saya tahu ini rencana Tuhan. Saya coba terima ini bersama keluarga”. Tapi dari nada suaranya terlihat betapa kecewa dan terlukanya sang Gembala ini.
Memang tak mudah bagi saya untuk campur tangan karena itu bukan langsung dalam jangkauan tugas saya. Tapi ada simpati dan empati yang dapat diberikan kepada gembala yang terluka. Saya berdoa kepadanya kiranya Tuhan melawat dan memulihkan dia dan keluarganya.
Sebenarnya bagaimana menolong situasi seperti ini? Terlepas dari kompleksitas masalah, sebenarnya pimpinan daerah harus berpihak kepada Gembala. Setidaknya mendengarkan dan bersimpati kepadanya. Jika memang majelis menemukan fakta kekurangan, sebaiknya diberi kesempatan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya lewat pelatihan dan berbagai seminar. Jangan pernah membiarkan kepemimpinan majelis mendikte dan sesuka hati menyingkirkan gembala berdasarkan hal-hal yang tidak prinsip. Bila itu masalah pelanggaran moral, tentu itu berbeda karena memang harus melewati masa disiplin bahkan pemberhentian jika perlu. Tapi jika hanya masalah ketidaksukaan, maka pemimpin harus memberi arahan untuk membela Gembala. Karena tidak ada Gembala yang sempurna dan dapat memenuhi keinginan semua jemaat dan majelis. Ingat bahwa Gembala itu adalah seorang Hamba Tuhan yang diurapi Tuhan. Semua pihak harus menyadari hal ini dan menghormati sang Gembala sesederhana apapun tampaknya dia. Yang penting Gembala belajar menghormati sesama dan siap bekerjasama dengan tim kepemimpinan dalam gereja lokal. Dia bukan penguasa yang sewenang-wenang tapi berlaku sebagai kawan sekerja yang saling menopang sebagai tim pelayan.
Apa akibatnya jika Gembala terluka? Gembala yang terluka akan cenderung melukai orang lain juga. Di tempat yang lain dia akan berubah gaya kepemimpinannya menjadi sinis, skeptis dan negatif. Bahka keluarganya pun ikut menjadi negatif dalam bertutur dan berperilaku. Mutasi bukan menyembuhkan tapi akan melukai gereja yang akan dimasukinya. Ini yang perlu disembuhkan oleh tim kepemimpinan daerah sebelum menempatkan ke tempat yang baru.
Bagi kemajelisan gereja yang melukai Gembala maka gereja itu tidak akan mengalami pertumbuhan dan Tuhan tidak akan mengizinkan hal baik terjadi dalam gereja itu, karena dosa sebagian kecil kepemimpinan berdampak kepada seluruh gereja. Ingat yang dilukai adalah utusan Tuhan. Pandangan ini saya dapat dari tulisan Norm Davis, “Healing Wounded: Restoring an Alliance Church to the Heart of God”. Dia mengingatkan betapa seriusnya gereja jika melukai gembala. Itu akan menjadi “historic wounded” atau luka sejarah di mana kalau tidak diselesaikan maka kemajelisan akan terus menerus gagal mendapatkan gembala karena mereka akan menjadi gereja yang melukai. Bahkan gerejanya akan mengalami penurunan.
Penyelesaiannya adalah pemimpin daerah harus memimpin dan mengadakan pendekatan untuk ada pengampunan. Gembala melepaskan pengampunan dan majelis gereja meminta ampun kepada Tuhan dan minta maaf kepada gembala karena tanpa ampun melukai gembalanya dengan kata-kata dan laku yang sarkastik dan dingin. Tanpa adanya pengampunan dari kedua belah pihak maka keduanya sama-sama kehilangan kuat kuasa Tuhan dalam pelayanan. Pemimpin harus mendorong adanya acara saling mengampuni secara sungguh-sungguh. Itulah yang akan membawa pemulihan bagi semua pihak. Gembala yang melepaskan pengampunan akan dipakai Tuhan lebih dahsyat lagi dan gereja yang minta ampun telah menyakiti orang yang diurapi Tuhan akan mendapat lawatan Tuhan baik secara komunitas maupun individu. Tanpa pengampunan, semua akan hancur! (DR)
Catatan kaki:
Kisah sejati pemulihan sebuah Gereja Kemah Injil di Amerika karena pengampunan ini ada dalam tulisan Norm Davis, “Healing Wounded: Restoring an Alliance Church to the Heart of God”, tersedia dihttps://www.cmalliance.org/alife/healing-the-wounded/