Oleh: Daniel Ronda
Ada perbedaan gereja di daerah pedesaan dan perkotaan dari sudut pendekatan sosiologis dan pertumbuhannya. Bila di desa sudah saling mengenal dan laksana keluarga, maka gereja perkotaan itu jemaatnya sangat kompleks dan menjangkau mereka harus memiliki strategi khusus. Tidak sedikit gereja perkotaan tidak siap menjadi gereja urban yaitu gereja yang menghadapi komplekstitas manusia yang beragam dari asal sukunya, beaneka jenis pekerjaan dan profesinya serta berbagai pergumulan dan masalah yang dihadapainya. Gereja kota banyak yang masih bergaya gereja tradisional yang modelnya masih bersifat tradisi lama. Contohnya, gereja yang tidak ramah kepada pendatang baru dalam gereja dan tidak memiliki rencana menjadi gereja yang terbuka bagi orang baru. Padahal ladang tuaian itu sudah di depan mata yaitu masyarakat perkotaan. Bagaimana gereja di perkotaan efektif menjangkau orang-orang di kota yang begitu banyak?
Pertama, gereja harus mengantisipasi menerima pengunjung baru. Apakah alamatnya jelas dan jika dicari di “google map” ada nampak? Kemudian apakah mereka sebagai orang baru disambut oleh penerima tamu yang ramah? Apakah gereja menyambut mereka dengan baik dan memang berniat untuk menyambut semua jemaat yang datang dengan harapan jemaat akan mengalami lawatan Tuhan lewat ibadah? Antisipasi seperti ini akan membuat pendatang baru dalam gereja merasa diterima. Gereja perlu melibatkan orang muda dalam memasukkan alamat gereja dalam google map, promosi lewat media sosial sehingga gereja dapat dikenal.
Kedua, gereja menciptakan budaya ramah tamah dalam jemaat. Tidak cukup bagi pengunjung gereja kota disambut penerima tamu yang ramah. Lebih dari itu, gereja harus menciptakan jemaat yang memiliki hati menjadi “tuan rumah Kristus’ yaitu seluruh jemaat diajar berlaku seperti Kristus menyambut jemaat yang baru datang. Gembala mulai dengan menyambut dengan ucapan selamat datang dan orang yang baru datang tidak dibiarkan sendirian tanpa ada yang sapa sesudahnya. Di sini semua jemaat perlu terlibat. Jemaat harus ada mendekati dan bercakap dengan mereka serta mengharapkan terus kedatangannya. Ini tidak terkecuali, di mana semua jemaat bertanggung jawab menjadi tuan rumah yang baik dan bersikap ramah.
Ketiga, buat ibadah yang hidup dan membangun. Biasanya orang kota membutuhkan kepastian lama waktu ibadah. Saya rasa 1,5 sampai maksimal 2 jam sudah cukup untuk sebuah ibadah. Jangan membuat bertele-tele, apalagi kesaksian yang berpanjang lebar, juga jangan biasakan ada kelompok-kelompok kategorial menyanyi tanpa persiapan. Lagu yang dinaikkan adalah persembahan pujian dan harus disiapkan khusus. Apapun pilihan lagu dan jenis liturgi yang berbeda dalam tiap gereja tidak ada masalah. Yang penting adalah bagaimana ibadah itu dipersiapkan dengan baik, kreatif membangun dan hidup. Khotbah pun harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Musik harus membuat jemaat terbangun dan para musisi memberikan yang terbaik bagi Tuhan.
Keempat, melibatkan anak muda dalam ibadah. Era masyarakat kota adalah bicara tentang peran orang muda. Gereja pun patut melibatkan anak muda dalam musik, ibadah, multimedia, tim kreatif dan pelayanan lainnya. Mungkin mereka tidak menjadi majelis tapi gembala dan pengurus jemaat mendorong anak muda aktif dan terlibat dalam pelayanan gereja. Mereka adalah orang yang memahami apa yang orang-orang kota gumuli dan pada saat yang sama kita mendidik anak muda dalam pelayanan dengan pelatihan dan persiapan yang memadai.
Membangun dan mengembangkan gereja urban di perkotaan tentu bukan hal mudah, tapi memahami karakteristik masyarakat kota adalah sebuah keharusan. Melakukan pembaharuan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip firman Tuhan adalah keharusan bagi gereja perkotaan. Tanpa itu gereja akan terdiri dari orang-orang lama yang hanya beribadah untuk diri sendiri dan dapat dipastikan akan kehilangan generasi yang berikutnya.