Oleh: Daniel Ronda
Tanggal 1 Oktober 1949 ditandai sebagai hari kemenangan komunisme di Tiongkok di bawah kepemimpinan Mao Zedong (Tse-tung) dan mendeklarasikan negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Dalam tahun pertama pemerintahan komunis memerintah, ribuan misionari asing diusir keluar dari Tiongkok di mana jumlah orang Kristen tahun itu di seluruh negeri ada berjumlah 4 juta jiwa. Pemerintah komunis melarang adanya agama yang mempercayai Tuhan tapi menggantinya dengan menghormati negara dan pemimpin besar mereka yang diberi gelar Ketua Mao. Jadi praktik penyembahan kepada Tuhan secara resmi dilarang dan diganti dengan kesetiaan kepada negara.
Pada tahun 1951, pemerintah komunis membuat suatu biro yang dinamakan Biro Urusan Agama yang tugasnya mengawasi agama dan kegiatan agama serta memberikan hukuman sampai hukuman mati kepada pemimpin dan penganut agama-agama yang bertentangan dengan undang-undang yang dibuat pemerintah komunis. Upaya memadamkan agama rupanya tidak berhasil dan tidak berjalan sesuai rencana sehingga mereka akhirnya membentuk badan kontrol yang mengawasi dengan ketat dan keras. Badan kontrol yang dibentuk pemerintah bernama Gerakan Tiga Patriotis Diri (Three Self Patriotic Movement). Badan ini bertugas mengontrol gereja-gereja dan memaksa para pemimpin gereja menandatangani pernyataan bahwa agama Kristen adalah agama imperialis Barat yang dipakai negara-negara Barat untuk menjajah dan menghancurkan Tiongkok. Mereka dipaksa menandatangani surat itu. Jika tidak bersedia maka mereka akan dipenjara dengan siksaan, dipermalukan di depan umum dan gereja mereka ditutup. Karena cukup banyak denominasi gereja di Tiongkok, maka mereka memutuskan untuk mendaftarkan gereja sehingga gereja yang boleh ada harus mendaftar pada pemerintah dalam hal ini Biro Keagamaan yang dibentuk. Tentunya, selain menandatangani pernyataan bahwa Kristen adalah agama imperialis Barat, mereka juga harus menyatakan kesetiaan patriotis mereka kepada negara. Bila ada gereja yang berani beribadah tanpa mendaftar maka pasti akan menghadapi penganiayaan, penjara dan penutupan gereja.
Tahun 1966-1976 di Tiongkok ada periode yang disebut Revolusi Kebudayaan. Ketua Mao terjun tangan langsung melawan kekristenan. Dia dalam pidato menyatakan secara resmi bahwa agama Kristen adalah musuh negara dan memerintahkan untuk gereja dihancurkan, kekayaan gereja disita, bahkan tidak boleh ada ekspresi keagamaan yang dilakukan di depan umum atau di masyarakat, seperti doa, ibadah syukur dan sebagainya. Tentu tujuannya menghapuskan kekristenan di seluruh negeri. Bahkan mereka melakukan berbagai propaganda lewat berbagai media termasuk surat kabar yang secara arogan membuat orang Kristen merasa jerih dengan iman mereka. Bahkan dalam sebuah koran di Sanghai yaitu South China Morning Post pada bulan Agustus 1966 menuliskan sebuah berita besar dengan judul “Kekristenan Segera Habis di Sanghai”. Apakah benar kekristenan mati akibat gerakan revoiusi kebudayaan ini? Sejarah justru berbicara sebaliknya.
Lewat tekanan komunisme yang berat dihadapi gereja di Tiongkok, Tuhan menghadirkan sosok-sosok anak Tuhan yang setia dan melawan arogansi pemaksaan agama harus didaftar dengan aturan yang zalim. Mereka adalah Wang Mingdao (1900-1991), Allen Yuan (1914-2005), Moses Xie (lahir tahun 1918). Mereka adalah para tokoh gereja yang setia dengan Tuhan dan menentang semua kontrol agama atas negara. Ketiga orang ini dipenjara rata-rata 20 tahun dan bahkan dalam penjara mereka mengalami interogasi keras dan siksaan karena iman mereka kepada Yesus. Ada juga tokoh yang dihukum 10 tahunan seperti Watchman Nee (1903-1972) dan Samuel Lamb (lahir tahun 1925). Tokoh-tokoh ini walaupun ada aniaya yang berat mulai melakukan pelayanan media dengan banyak menulis buku, pamflet, traktat, lagu-lagu rohani untuk mendukung gerakan gereja bawah tanah yaitu gereja yang tidak mau dikontrol Biro Pengawas Keagamaan. Lewat tekanan yang dialami maka makin menjamur gerakan gereja di bawah tanah atau disebut juga gereja rumah atau gereja tidak terdaftar (unregistered church).
Inilah catatan yang menarik tentang pertumbuhan gereja di Tiongkok. Ketika gereja mengalami aniaya yang sangat berat baik dari aturan maupun secara kekerasan fisik, gereja di sana yaitu gereja rumah ini makin bertumbuh dengan pesat. Seharusnya dapat dikatakan sulit bertumbuh manakala gereja di sana tidak boleh sama sekali mengaakan kontak dengan pihak asing, kiriman uang dari pihak luar, bahkan buku-buku dan bahan pelajaran pun tidak boleh dari luar. Tapi lewat kemandirian gereja di Tiongkok ini justru gereja rumah ini mengalami ledakan dalam jumlah bahkan masuk ke semua elemen masyarakat mulai dari level sosial atas sampai ke bawah. Saat ini jumlah orang Kristen di Tiongkok ada sekitar 90 juta jiwa. Ini membuat gereja yang paling bertumbuh di dunia. Bahkan mereka sudah mulai mengutus penginjil ke luar negeri, sehingga diperkirakan di tahun 2025 gereja di Tiongkok akan menjadi gereja pengutus penginjil terbesar di dunia. Mereka keluar dengan pelatihan yang sederhana dengan membawa identitas kontekstual untuk menghidupi diri mereka dan status mereka di negara tujuan pelayanan.
Kisah dramatis di pertumbuhan gereja di Tiongkok dan munculnya gereja di sana menjadi gereja pengutus membuat peta misi dunia akan mengalami perubahan pada akhir abad ke 21. Di samping itu sebagai warga GKII, maka pelajaran yang bisa diambil adalah walaupun ada aniaya dan kesukaran hidup dalam pelayanan kita tidak boleh takut akan masa depan gereja dan diri kita. Jangan menyerah karena kesulitan hidup, setiap hamba Tuhan GKII harus siap bayar harga. Dalam konteks gereja, semakin gereja dianiaya semakin kuat gereja itu jadinya. Sesungguhnya tidak ada yang bisa menghalangi terang Injil Tuhan (DR).
Sumber bacaan: Timothy C. Tennent, How God Saves the World: A Short History of Global Christianity (Tennessee, USA: Seedbed Publishing, 2016).