You are currently viewing Khotbah Eksposisi (1)

Khotbah Eksposisi (1)

Oleh Daniel Ronda

Teman baik saya mengeluh bahwa standar khotbah di gereja sudah menurun. Dia menyebut khotbah banyak diisi cerita pribadi, cerita yang sedang hangat di media, curhat permasalahan yang dihadapi. Cerita berputar-putar. Intinya bukan Firman Tuhan yang diuraikan tapi cerita tentang diri dan celakanya tidak menarik lagi cara berceritanya. Lengkap sudah.

Memang tidak mudah membuat dan menyiapkan khotbah eksposisi tiap minggu bagi para gembala. Apalagi jika dia sudah bertahun-tahun di sana. Pengkhotbah pun bingung apa yang mau disampaikan. Lain dengan pengkhotbah tamu seperti dosen teologi yang jam khotbahnya hanya sesekali sehingga dia bisa menggunakan khotbah yang sama di tempat lain. Tapi gembala tidak, dia tidak mungkin mengulangi khotbah yang disampaikannya.

Ada beberapa masukan yang bisa dipakai untuk gembala dari pengalaman pribadi dan berbagai sumber tentang mempersiapkan khotbah:

Pertama, perlu ada disiplin membaca Alkitab setiap hari dengan pola lakukan studi PA Alkitab atas yang dibaca. Pengalaman saya membaca Alkitab tidak bisa tergesa-gesa, selalu mulai dengan doa dan berkomitmen bahwa saya tidak berdiri sampai saya temukan pesan Tuhan. Duduk ulang baca perikop sampai mengerti lalu temukan apa maksud Tuhan dalam teks itu. Segera tulis di buku khusus yang menjadi buku tulis khusus devosional. Ingat membaca dan merenungkan Firman adalah bagian dari “pekerjaan” seorang Gembala. Jangan merasa buang waktu studi Alkitab, karena memang Gembala itu diharapkan ahli dalam Firman Tuhan. Apakah Alkitab saja bisa menyusun khotbah? Jika jam terbang pelayanan sudah tinggi di mana latar belakang sejarah Kitab sudah diketahui, maka tidak sulit menemukan maksud Tuhan jika kita meminta pertolongan Roh Kudus. Jadi Alkitab cukup karena Alkitab menjelaskan Alkitab adalah bentuk penafsiran yang terbaik.

Kedua, bila sudah memilih teks Kitab untuk dibaca di mimbar, maka setialah menguraikan Firman yang dibaca. Jangan Alkitab itu hanya alat stempel atau pembacaan awal lalu setelah itu bahas agenda pribadi di mimbar. Kemungkinan gagal menguraikan apa yang dibaca karena memang tidak siap atau tidak mampu menemukan pesan Tuhan di sana. Atau memang tidak tertarik dengan teks itu karena memang ada agenda yang pengkhotbah rasa perlu untuk disampaikan. Namun arti homili, atau homiletika, atau khotbah itu memang harus mulai dari pembacaan teks dan kemudian dijelaskan apa maksud teks dan apa yang menjadi amanat Tuhan buat jemaat atas bagian kitab yang dibaca. Itulah makna sesungguhnya khotbah. Kalau di luar itu namanya ceramah atau seminar dan pembicaranya disebut pakar atau motivator dan bukan pengkhotbah. Apa bisa di gereja ada bentuk ceramah? Tentu bisa, tapi namanya acara seminar atau pelatihan yang umumnya dibuat gereja di antara hari Minggu.

Ketiga, cintailah Firman Tuhan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Jika Anda ke mana saja, berjumpa teman-teman sejawat diskusikan apa yang dibaca, misalnya tentang yang tidak diketahui. Komunitas teman sejawat penting dalam memahami teks lebih dalam dan perspektif yang berbeda. Jika andalkan buku tafsiran itu akan cepat habis, sehingga perlu ada tambahan yaitu diskusi Firman. Jika sulit dapat komunitas karena memang biasanya kalau sesama teman sejawat jumpa sering yang dibahas politik atau olahraga, maka cari cara lain. Misalnya dengarkan khotbah teman yang setia melakukan eksposisi. Jangan lihat gelarnya, belajar darinya apa yang dia temukan dan bagaimana dia membangun argumen. Atau jika Anda di perkotaan, nonton khotbah di YouTube sesering mungkin sehingga menajamkan cara menggali. Cuma cari yang setia kepada eksposisi teks, karena banyak khotbah yang sembarangan di internet. Intinya suka Firman Tuhan.

Tidak ada yang menjadi fondasi dalam berdiri di mimbar selain kokoh dalam Alkitab. Selanjutnya materi dibahas dalam bagian kedua! Silakan tunggu, tapi sebelumnya sila beri komentar dan masukan! Salam kemenangan!

#leadershipwisdom