Oleh Daniel Ronda
“Kok kalau si A yang khotbah kita bisa mengerti dan bagus masuknya, tapi si B susah sekali memahami maksud pembicaraannya, alias khotbahnya gak dimengerti!”
Itu keluhan jemaat masa kini yang lazim didengar di mana-mana. Di mana masalahnya? Persoalan terletak pada isu relevansi. Artinya khotbah bukan bicara masa lalu tentang informasi panorama historis dan sosial di masa Alkitab dan bukan juga soal penguraian tata bahasa (grammar) Alkitab. Bagian yang saya sebutkan ini adalah proses pendalaman Alkitab dalam melakukan penafsiran (hermeneutika) sebelum seseorang naik mimbar. Setelah naik mimbar maka proses informasi itu sudah disarikan menjadi suatu pesan Tuhan yang menjadi Amanat Khotbah. Karena proses penafsiran untuk menemukan Amanat Teks (saya pinjam istilah ini dari buku Dr Benny Solihin). Amanat khotbah itu bersifat umum dan mengena dalam kondisi situasi sekarang. Pengkhotbah yang baik tentu setia kepada Alkitab dan saat yang sama menggumuli konteks di mana dia berada. Itulah menjadi relevan.
Ada yang salah faham tentang menjadi relevan. Misalnya, pakai baju waktu khotbah harus ikut mode generasi milenial, harus pandai humor, wajib ikuti berita TV sehingga bisa tahu isu terkini, dan lain sebagainya. Ini keliru sekali. Ada Romo Katolik atau Pendeta Protestan yang baik dan menarik penyajiannya pakai baju imam atau kependetaan. Atau soal humor, ada artis stand up comedy yang mencoba jadi pengkhotbah justru dikeluhkan karena banyolannya itu-itu saja. Atau ada yang selalu naik mimbar bawa isu terkini di TV atau media dan mengulasnya, malahan dianggap pengamat politik atau presenter gosip oleh jemaat. Menjadi relevan bukan soal menjadi kekinian atau ikut tren tapi ada yang lebih hakiki yaitu memahami siapa pendengar kita. Istilahnya adalah exegete the audiences yaitu mendalami siapa pendengar kita, istilah yang pinjam dari Dr Rahmiati Tanudjaja.
Lalu, apa dan bagaimana itu mengeksegesis pendengar? Sebagaimana melakukan eksegesis Alkitab itu perlu waktu dan kajian yang dalam, maka mendalami pendengar pun bukan sekadarnya. Pengkhotbah harus memahami kepada siapa dia berkhotbah, apa kegiatannya sehari-hari, apa pergumulan hidupnya, isu apa yang mereka sedang gumuli, dan banyak lagi. Bila dia seorang gembala ini akan juga menjadi pergumulan doanya. Belum lagi pengkhotbah harus memahami persoalan sosial kemasyarakatan di tempat di mana dia melayani. Pendek kata dia wajib mendalami seluk beluk siapa pendengar khotbahnya.
Persoalannya bagaimana “mengawinkan” dengan kajian Alkitab yang sudah dilakukan? Sederhananya, mari baca Alkitab sebagaimana yang Tuhan maksudkan tapi saat yang sama mari kita bawa pesan itu ke dalam konteks pendengar kita saat ini. Ini pun memerlukan pertolongan Roh Kudus untuk menemukan pesan Tuhan bagi pergumulan yang dihadapi jemaat.
Ini bukan pekerjaan mudah tapi itulah hakikat khotbah bagaimana pesan itu sampai di hidup mereka dan mereka berkomitmen menaatinya. Itulah “Sola Scriptura” bahwa umat Allah hanya dapat hidup yang sesungguhnya dari roti Firman Tuhan yang menghidupkan.
Sampai di sini, silakan beri komentar kritis, tapi jangan serang pribadi, dan akan ada lanjutannya lagi tulisan ini! Salam.