You are currently viewing Refleksi 70 Tahun Injil Masuk di Lembah Baliem

Refleksi 70 Tahun Injil Masuk di Lembah Baliem

Daniel Ronda

Awal mula Injil masuk di tanah Papua adalah 5 Februari 1855 di Mansinam oleh dua misionaris asal Jerman, yaitu Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler yang saat ini menjadi Gereja Kristen Injili di Tanah Papua. Namun karena wilayah Papua yang begitu luas, pemerintah Hindia Belanda mengundang berbagai lembaga misi untuk menjangkau Papua di bagian pegunungan. The Christian and Missionary Alliance meresponi ajakan itu karena memang Dr. R. A. Jaffray juga memiliki panggilan untuk pergi ke Papua sejak beliau memulai pelayanan CMA yang bermarkas di Makassar tahun 1931. Jaffray mendapatkan laporan di tahun 1937 bahwa Pemerintah Hindia Belanda menemukan Danau Wissel di daerah Paniai yang ternyata sudah didiami masyarakat di sana sekitar 50 ribuan orang, walaupun yang baru berhasil didaftar 10 ribuan orang. Mendengar hal ini, Dr. Jaffray dengan Tim Misi CMA memutuskan mengutus C. Russell Deibler dan Walter M. Post untuk melakukan perjalanan eksplorasi ke sana. Mereka berangkat dengan kapal Laut melewati Maluku dan tiba di Barat Daya Papua yaitu Pelabuhan Oeta tanggal 24 Desember 1938. Dengan bantuan wakil pemerintah Hindia Belanda, Bapak Cator di FakFak maka dipersiapkan perjalanan dengan membawa perlengkapan bahan makanan dan lainnya ke sana. Maka tanggal 26 Desember berangkatlah Russel Deibler bersama seorang lainnya melakukan perjalanan eksplorasi selama 18 hari. Bapak Post tidak ikut dalam perjalanan. Tanggal 13 Januari 1939 tibalah mereka di Danau Paniai. Setelah melakukan pendekatan dan observasi maka mereka kembali ke Makassar. Pada bulan Maret 1939 dua keluarga yaitu Kel. Deibler dan Kel. Post didampingi 3 mahasiswa Sekolah Alkitab Makassar dan 20 orang Dayak menuju ke Paniai dan melayani di sana.

Setelah Injil bertumbuh di Papua Tengah, maka Jaffray terus mendorong mencari jiwa yang terhilang di bagian Papua Pegunungan yang lain. Ada tempat yang menarik perhatian Jaffray yaitu Shangrilla atau Lembah Baliem, di mana mula-mula ditemukan oleh Richard Arcbold, seorang jurnalis dan saintis. Arcbold tiba di Lembah Baliem atau yang dia sebut Shangrilla di tahun 1938. Mendengar tempat baru ini, Jaffray mulai bergerak mempersiapkan misi ke Lembah Baliem. Namun karena tidak memungkinkan untuk dijangkau lewat daratan dan sungai, maka diputuskan membeli pesawat terbang. Dengan perjuangan yang tidak sedikit dalam penggalian dana membeli pesawat terbang amfibi itu, di tahun 1953 akhirnya CMA berhasil membeli pesawat di Belfast Irlandia Utara. Pesawat itu diberi nama Pemberita Injil (Gospel Mesenger). Selanjutnya tanggal 20 April 1954 merupakan momen bersejarah di mana utusan Injil pertama kali menginjakkan kaki di Lembah Baliem. Ada tujuh orang dalam pesawat yang berangkat yaitu Pilot Lewis dan Pilot Ulrich yang membawa 5 orang utusan Injil yaitu Pdt. Einar Mickelson dan Pdt. Llyod van Stone. Mereka didampingi satu keluarga pekabar Injil Elisa dan Ruth Gobai bersama anaknya bernama Dorkas. Ini menjadi bersejarah karena ketibaan mereka tanggal 20 April 1954 di Hitigima disambut oleh 7 pemimpin dari Suku Dani. Sejak itulah Injil terus berkembang di Lembah Baliem dan kemudian disusul oleh kedatangan lembaga-lembaga misi lainnya karena begitu luasnya pelayanan di Lembah Baliem.

Secara garis besar pelayanan CMA atau Gereja Kemah Injil Indonesia (dulu bernama Kemah Injil Gereja Masehi Indonesia/KINGMI) di Lembah Baliem digambarkan terus melakukan ekspansi mencari suku-suku di sana. Di samping memperkuat pelayanan Lembah Baliem, misi CMA juga pergi ke Lembah Ilaga di tahun 1956 dan Lembah Beoga untuk menjangkau Suku Moni dan Damal. Karakteristik pertobatan di antara suku-suku di Papua adalah pertobatan massal (mass conversion). Sebagi contoh, di tahun 1957 dalam pelayanan misi CMA ke Piramid terjadi pertobatan besar-besaran di tahun 1960. Selanjutnya di tahun yang sama misi CMA menjangkau ke Seinma, Pugima, Ibele, Sinakma, Silimo di tahun 1963, Tangma yang baru tembus tahun 1964.

Mengabarkan Injil di Lembah Baliem bukan hal yang mudah. Di Ibele misalnya, utusan misi menghadapi perlawanan atas kedatangan mereka. Bahkan di Sinakma, orang yang baru percaya diancam akan dibunuh. Tantangan lain yang dihadapi masih adanya praktik kanibal, kuasa kegelapan, perang antar suku, dan banyak tradisi mistik nenek moyang yang dipegang kuat. Begitu banyak perlawanan yang terjadi, namun Injil terus dapat menembus hati yang keras. Ada banyak mujizat terjadi dalam pelayanan mereka dan benih Injil yang ditanam terus menghasilkan bukan hanya jiwa-jiwa tapi juga siap menjadi utusan Injil. Misalnya di Pugima (1957) ada 150 orang belajar Injil dan sebagian mereka siap membawa Injil kepada mereka yang belum terjangkau.

Apa yang dilakukan oleh utusan misi CMA di Lembah Baliem dan Papua Pegunungan lainnya? Pertama, mereka melakukan penerjemahan Alkitab. Namun sebelum melakukan penerjemahan, mereka sendiri perlu belajar bahasa dan budaya. Ada begitu banyak bahasa di Papua dan misi CMA berhasil menerjemahkan Alkitab beberapa ke dalam bahasa suku. Kedua, mendirikan sekolah umum bersama lembaga atau gereja lain. Ini karena pemerintah Hindia Belanda mempercayakan lembaga misi untuk menyelenggarakan pendidikan sekolah umum. Ketiga, ciri pelayanan misi CMA adalah mendirikan sekolah Alkitab. Ini melahirkan penginjil-penginjil orang Papua sendiri, di mana mereka diutus menjadi penginjil dan gembala. Muncul kesadaran para hamba Tuhan yang sudah berhasil menanam gereja untuk membentuk organisasi. Tanggal 6 April 1962 di Beoga dilaksanakan konferensi pertama dan terbentuk KINGMI (Kemah Injil Gereja Masehi Indonesia) Irian Jaya atau sekarang bernama Gereja Kemah Injil Indonesia. Keempat, misi CMA membuka sekolah pelatihan penginjilan (witness school) untuk mencetak penginjil-penginjil. Kelima, pelayanan sosial termasuk adanya klinik kesehatan di Piramid. Keenam, misi CMA menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga lain termasuk MAF serta lembaga dari Gereja Baptis, GIDI, dan sebagainya. Tujuannya agar Injil dapat diberitakan seluas-luasnya dan sesegeranya. Urgensi waktu dan besaran wilayah menjadi motivasi utama kerjasama ini.

Di perayaan yang ke-70 ini, tema yang diangkat adalah “Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik (Roma 10:15)”. Tema ini sebagai bentuk syukur bahwa Injil telah begitu banyak membawa kemajuan peradaban suku-suku di Papua Pegunungan. Namun sekaligus menjadi tantangan bahwa generasi penerus harus terus menjadi pembawa kabar baik dalam konteks yang berubah. Mickelson pada waktu berangkat ke Lembah Baliem mengatakan bahwa: “Ketika kita pergi, maka tidak ada titik balik. Kita harus masuk (ke Lembah Baliem) tanpa berharap kembali”. Benar tidak ada lagi titik balik. Kita harus terus maju membawa Injil untuk kesejahteran umat di Papua secara holistik. Ini adalah pekerjaan rumah yang belum selesai di tengah konflik di masyarakat yang belum tuntas dihadapi, tantangan era digital, perubahan sosial dan pemerintahan yang begitu cepat berubah. Namun kita percaya Injil adalah kekuatan Allah. Selamat merayakan Injil masuk ke Lembah Baliem.

Sumber penulisan:

  1. Missionary Atlas: A Manuel of Foreign Work The Christian and Missionary Alliance, hal. 170-192, USA Harrisburg, PA: Christian Publication, 1964, oleh Louis L. King.
  2. Surat Kabar Kompas.com dengan judul “Sejarah Injil Masuk di Tanah Papua”, tersedia: https://www.kompas.com/stori/read/2023/02/06/150000879/sejarah-injil-masuk-di-tanah-papua?page=all (diakses 1 April 2024).
  3. “Our First Missionaries to Wissel Lake Dutch New Guinea”, Majalah “Pioneer” ((Vol. 10/36: May 1939), hal. 15-20, diakses tanggal 7 April 2017 tersedia di https://www.cmalliance.org/resources/archives/downloads/pioneer/pioneer-1939-05.pdf. Juga lihat tulisan John R. Turnbull, “God’s Day for New Guinea” dan artikel lainnya di Pioneer (Vol X/36: Nov. 1939), hal. 12-35 diakses tanggal 7 April 2017, tersedia di https://www.cmalliance.org/resources/archives/downloads/pioneer/pioneer-1939-11.pdf
  4. “CHRISTIANITY IN PAPUA” dari buku A History of Christianity in Indonesia, Book Editor(s): Jan Sihar Aritonang and Karel Steenbrink, diterbitkan oleh Brill (London dan Boston), 2008.