Oleh Daniel Ronda
Pak Peniel adalah adik kelas saya di STT Jaffray. Kami datang dengan kesederhanaan ke kampus Jaffray. Sembari kuliah saya menjadi pekerja untuk kebersihan di kampus dan kemudian jadi bagian penyimpanan buku di perpustakaan. Pak Peniel juga bekerja di rumah alm. dosen kami Pdt Ketut Enoh. Begitulah perjuangan kami kuliah sambil kerja agar dapat menyelesaikan studi dengan baik.
Setamat dari Jaffray, kami berpisah tugas pelayanan. Saya ke Bali dan beliau ke Samarinda Kaltim yang menangani pelayanan pemuda. Habis dari Bali selama 5 tahun, saya kembali ke almamater mengajar di tahun 1994.
Perjumpaan intens kedua terjadi ketika kami dapat tugas belajar ke Filipina. Tahun 1996 saya belajar S2 dan sekeluarga kami pindah. Tahun berikutnya Pak Peniel yang datang ke kampus kami, Alliance Bible Seminary (Alliance Graduate School). Dia datang ambil program pemuda.
Jadilah kami satu kampus dan juga tinggal di kompleks apartemen yang sama. Jangan membayangkan apartemen itu bagus, cuma apartemen studio di mana kamar dan dapur dan tempat belajar menjadi satu. Sekali lagi itulah perjuangan dalam sekolah.
Di Filipina kami masuk di gereja Indonesia dan kami merasakan adanya saling menopang sesama mahasiswa Indonesia yang studi di luar negeri. Sewaktu Bagus, anak kedua kami dipersembahkan maka Pak Peniel dan ibu Christine adalah orang tua rohani Bagus yang ikut berdiri mendampingi persembahan anak.
Susah dan senang dilalui bersama selama 3 tahun di Manila, dan waktu studi beliau ternyata tidak hanya menyelesaikan program pemuda tapi meminati Perjanjian Lama dan Bahasa Ibrani adalah passion beliau. Jadi waktu tamat tidak hanya menyelesaikan MA di bidang Pemuda tapi juga M.Div. di mana Program M.Div itu jumlah SKS nya 95 yang diselesaikan dalam waktu 3 tahun.
Sama seperti saya, Pak Peniel pun bawa anak-anak. Dengan beasiswa yang pas-pasan, kami bisa menyelesaikan studi dengan baik bahkan pak Peniel dikategorikan mahasiswa tekun dan cemerlang. Memang saya kemudian melanjutkan studi Th.M di kampus berbeda yaitu di ISOT Manila. Namun kebersamaan dalam suka dan duka terus dijalani bersama dalam perjuangan tugas belajar.
Setelah balik Indonesia, saya tetap kampus Jaffray Makassar. Sedangkan Pak Peniel sekeluarga mendapat tugas baru mengajar di STT Tenggarong di Kaltim. Kami hanya jumpa sesekali jika ada acara-acara gereja.
Sewaktu alm. Pak Sadrak menjadi Ketua STT Jaffray, beliau mengangkat saya menjadi Puket 1 Akademik. Dalam suatu rapat Pak Sadrak mengaanggendakan untuk merekrut dosen muda bergabung ke Jaffray. Maka saya mengusulkan nama Pak Peniel ke Pak Sadrak. Usul dipandang baik dan kami kontak beliau. Syukur beliau menerima undangan pelayanan ini dan jadilah Pak Peniel bergabung di STT Jaffray di tahun 2003.
Sewaktu saya menjadi Ketua, saya mengajak dia untuk bantu tangani kemahasiswaaan dan tahun 2011 ketika terpilih kembali saya mengangkat beliau sebagai Puket 1 Bidang Akademik. Dia bukan hanya dosen yang handal, namun juga pekerja keras. Di sela tugas yang diberikan, kami menugaskan beliau studi S3 di STT Baptis Semarang. Dia mengerjakan semuanya dengan baik sekali.
Di samping itu karakternya baik sekali, rendah hati dan menjadi tim kerja yang solid. Kami bahu membahu membangun STT Jaffray sehingga ketika saya turun dari Ketua, STT Jaffray telah memiliki semua jenjang strata S1 sampai S3 dan semuanya terakreditasi. Pencapaian itu terjadi karena ada tim kerja yang solid dan bersehati. Kemajuan STTJ bukan kerja satu atau dua orang tapi tim yang saling menghargai, menghormati dan bekerja bersama. Ini adalah modal kepemimpinan yang besar karena tanpa tim kerja bersama yang kuat, maka tidak akan ada pencapaian yang berarti.
Seperti diprediksi maka di tahun 2016 beliau terpilih Ketua STTJ menggantikan saya. Tongkat estafet berpindah dan saya punya keyakinan beliau mampu memimpin kampus Injili tertua ini. Itu terbukti di mana pembangunan rumah dosen dibangun, terjadi pembaharuan administrasi pendidikan, personel muda masuk.
Ini untuk mengantisipasi administrasi pendidikan memasuki era digital. Bahkan Jurnal Jaffray yang saya mulai di tahun 2003 memasuki masa keemasan di mana menjadi jurnal teologi pertama di Indonesia yang terakreditasi secara online dengan mendapatkan peringkat SINTA 2. Dosen baru pun dipanggil bergabung.
Ada progres yang luar biasa melanjutkan momentum pertumbuhan STTJ menjadi lembaga pendidikan teologi yang disegani. Beliau pun tetap minta saya sebagai dosen dan dilibatkan dalam banyak pengambilan keputusan penting.
Saya pun harus berhati-hati karena tidak mau mendikte dan justru mendorong dia berani mengambil keputusan-keputusan yang penting. Pak Peniel membuktikan bahwa dia layak menjadi pemimpin dan saya pun diterima sebagai sahabat diskusi yang memberi masukan. Sebuah persahabatan yang saling menghormati apa yang Tuhan percayakan kepada kita masing-masing.
Tiga hari yang lalu saya menelpon Pak Peniel dari Jayapura di mana seharusnya dia hadir di acara PERSETIA (Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia) yang mana dia adalah Wakil Ketua.
Saya mau bicara banyak hal termasuk Program Doktor dengan dia sebagaimana biasa kalau kami jumpa, pasti ada waktu khusus bicara. Dia minta maaf tidak bisa datang karena kampus akan menerima Asesor BAN PT untuk Prodi PAK. Itulah percakapan kami yang terakhir di telepon.
Jumat pagi (26/7) saya sungguh terpukul berat ketika mendapat kabar beliau meninggal mendadak kena serangan jantung. Pastilah ini kelelahan dan dia terlalu forsir dirinya.
Wah, sulit rasanya membayangkan campur aduknya emosi pagi itu. Telepon dan WA pun sahut bersahutan berdering. Kabar pun berpendar seantero jagad digital yang membawa berita kesedihan ke berbagai belahan dunia sampai ke pelosok negeri ini.
Kebanyakan menanyakan apakah ini benar adanya? Itu adalah ekspresi ketidakpercayaan. Namun setelah mendapatkan konfirmasi dari kampus, saya pun mengabarkan ke semua sahabat, handai taulan, rekan sejawat Asesor tentang kepergian ini.
Tangis pun berderai dengan simbol-simbol kepedihan di medsos. Istri yang saya kabari via telepon tak kuasa menahan tangis. Iya, kami semua kehilangan secara mendadak orang yang baik, setia, penuh dengan tawa, rendah hati dan pemimpin yang handal. Dia baru 3 tahun memimpin kampus STTJ.
Kepergiannya memang membuat kami bersedih namun percaya dia telah menyelesaikan tugas pertandingan dengan baik dan percaya bahwa Tuhan itu Maha Baik. Tuhan pasti menyertai keluarga yang ditinggalkan.
Selamat jalan hambaNya!
Kebumen, 27 Juli 2019