Oleh: Pdt. Dr. Daniel Ronda
Agak memprihatinkan bahwa sampai saat ini masih banyak STT di Indonesia yang belum terakreditasi bahkan sekalipun sudah terakreditasi masih ada yang belum sadar kegunaan akreditasi. Ada saja STT yang tanya berapa biaya untuk dapat akreditasi A? Apa sebenarnya masalah pendidikan teologi di Indonesia? Menurut pengamatan saya sebagai orang yang di pendidikan teologi selama 22 tahun dan asesor BAN-PT ada beberapa persoalan mendasar dalam pendidikan teologi di Indonesia:
- Masih banyak sekolah teologi yang berpikir dengan paradigma lama, di mana keabsahan sebuah pendidikan adalah lewat ujian akhir yang dikenal dengan ujian negara. Sampai hari ini praktik tersebut masih didukung lewat Bimas Kristen lewat istilah ujian pemantauan. Padahal paradigmanya sudah lama berubah yaitu mutu pendidikan keseluruhan sudah harus baik dari awal pendidikan, sproses yang bagus akhirnya menghasilkan lulusan yang bermutu. Sedangkan ujian negara hanya menilai ujungnya saja tanpa menilai mutu proses pendidikan itu. Perubahan ini tidak difahami oleh penyelenggara pendidikan.
- Pendidikan teologi dibuat dengan gaya kursus Alkitab, di mana satu atau dua orang dosen mengajar hampir seluruh mata kuliah, apalagi menyelenggarakan S1, S2 dan S3 sekaligus tanpa mau mengikuti bagaimana sebuah pendidikan tinggi dijalankan. Pendidikan menjadi asal-asalan dan modelnya hanya kursus tapi diberi label sarjana.
- Banyaknya pendidikan teologi yang instan dalam memberi gelar, untuk S1 cukup mengikuti 1-2 tahun, S2 hanya 6 bulan sampai satu tahun, S3 cukup 1 tahun. Ini dilakukan seperti menjual ijazah untuk prestise yang kemudian dipakai di dalam gereja. Banyak pemimpin gereja yang merasa hebat jika gelar-gelar dipajang banyak-banyak. Padahal pada gelar ada tanggung jawab mutu dan kualitas diri dalam pengajaran dan perilaku cendekiawan. Sayang jika gelar dan pengajaran tidak sejalan, gelarnya tinggi tapi standar pengajaran mutunya rendah.
- Berkaitan dengan poin di atas, ada sekolah teologi mengelola pendidikan untuk dijadikan sumber dana bagi pengelola pendidikan teologi. Gelar lalu dikomersialkan dan “dijual” kepada gembala-gembala dan pemimpin gereja yang juga merasa gengsi naik dengan gelar yang disandangnya. Maka tidak heran banyak pemimpin gereja hanya membeli gelar dan bukan mengikuti pendidikan.
- Ada motif lain yang muncul belakangan yaitu eforia bangun STT atau gereja harus punya STT sendiri. Sayangnya itu dibuat tanpa kesiapan pelaksanaan. STT berlatarbelakang Kharismatik dan Pentakostal menjamur sekali di Indonesia. Ada yang dikelola dengan baik tapi tidak sedikit yang dilaksanakan asal-asalan. Sulit membayangkan seperti apa mutunya jika STT ini muncul tanpa visi dan misi yang jelas dari pendiri dan penyelenggara. Hari ini STT seperti ini hanya mengandalkan lobi ke pihak pemberi izin dan tidak peduli apakah pendidikan dijalankan dengan benar. Segalanya sepertinya bisa diatur dengan uang untuk mengatur perizinan dan akreditasi. Tidak sedikit yang berbohong mengisi Borang BAN-PT dan bahkan menjiplak dari institusi lain.
- Dosen-dosen yang ada juga banyak yang tidak memiliki kualitas dalam komptetensinya. Mutu dosen sangat rendah akan berpengaruh kepada mutu pendidikan. Ini diakibatkan karena profesi dosen memang secara finansial tidak menjanjikan, sehingga dosen teologi lalu diambil dari yang mau saja. Contoh rendahnya kualitas dosen adalah karya ilmiahnya adalah jiplakan, kualitas mengajar hanya sebatas ceramah, tidak melakukan secara benar prinsip menjadi dosen yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat, bahkan merangkap jabatan. Mutu dosen yang rendah inilah ditengarai menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan teologi di Indonesia.
Tentu ini bukan hasil penelitian, namun merupakan pengamatan penulis berkeliling mengunjungi berbagai STT di Indonesia. Siapa yang membenahi? Jawabannya adalah kita semua. Para pemimpin gereja jangan tutup mata dan tidak kritis melihat perilaku yang tidak benar dalam menyelenggarakan pendidikan teologi. Yang pertama terkena dampaknya adalah gereja. Ketika mutu pendidikan teologi rendah, asal-asalan dijalankan, berorientasi uang dan komersialisasi gelar, maka sekolah teologi sedang mengirim masalah kepada gereja. Gereja harus bersikap terhadap perilaku koruptif dalam pendidikan teologi. (DR)