Oleh Daniel Ronda
Memegang jabatan itu suatu mandat yang diberikan dari Tuhan dan kepercayaan dari organisasi. Jabatan itu berisi kekuasaan atau “power” yang menyertainya sehingga dia punya kuasa untuk mengangkat atau memberhentikan, mempromosikan atau membiarkan pergi, kuasa atas pemakaian anggaran atau keuangan, kekuatan untuk mengatur semua kebijakan dan arah langkah organisasi. Di tangan pemimpin yang baik, maka organisasi akan bertambah maju, tapi tidak demikian jika dipegang oleh pemimpin yang tidak mengerti arti kepemimpinan yang sebenarnya. Tak sedikit lalu menjadi arogan, menyingkirkan yang tidak disukai, nepotisme kekeluargaan dan pertemanan dalam mengangkat seseorang, arah organisasi tidak jelas, keuangan diatur sesukanya untuk kepentingan pribadi. Gaya ini disebut mentang-mentang yaitu karena merasa punya kuasa maka dipakai seenak perutnya.
Mengapa itu terjadi? Memang karena si pemimpin itu tidak pernah mau memahami hakikat inti dari arti memimpin. Yesus sendiri sudah jelas sekali menyatakan bahwa memimpin itu artinya melayani dan bukan dilayani. Memimpin artinya memberi yang terbaik bagi yang dipimpin untuk kemuliaan Tuhan. Memimpin berarti menjadi pelayan. Sudah tidak bisa dibengkokkan lagi arti memimpin. Pemimpin bukan penguasa otoriter, karena pemimpin dinaikkan oleh suara peserta rapat bukan untuk menjadi Hitler, tapi menjadi serupa dalam kepemimpinan Yesus. Hanya model kepemimpinan ini yang bisa mengangkat sang pemimpin.
Artinya memimpin dengan melayani adalah pemimpin yang banyak mendengarkan, berdialog sekalipun dengan orang yang berbeda pendapat bahkan musuh sekalipun. Dia rela duduk di warung kopi untuk bercakap secara informal untuk mendengarkan sang bawahan yang menangis kepedihan dengan segala keluh dan kesahnya. Dia peduli penderitaan dan bersama-sama merasakan kesusahan dan bertindak dengan tindakan nyata. Dalam memutuskan sesuatu dia tidak mau sembunyi di balik kata “Menurut Peraturan” karena sejatinya peraturan itu hanya alat mencapai tujuan organisasi. Jangan peraturan itu diperalat untuk kepentingan sendiri atau menghancurkan orang. Mungkin masalahnya adalah pemimpin tidak siap mendengarkan. Lagi-lagi, jangan mentang-mentang berkuasa, maka suara di bawahan dianggap angin lalu. Jabatan itu hanya sementara saja!
Nasihat terbaik adalah jangan pernah memaksakan pendapat sendiri. Dalam organisasi yang sifatnya kolegial (atau istilah gereja presbiterial) maka si pemimpin adalah orang yang menghimpunkan dan menyatukan berbagai pendapat teman-teman dalam kepengurusan secara bersama-sama. Ia perlu bermusyawarah untuk mencapai sebuah keputusan. Diakui ini agak lama dan berat, tapi bila terus menerus berjumpa dalam dialog yang sehat dan penuh kasih tanpa prasangka maka akan ditemukan sebuah komitmen untuk saling memahami, saling menerima dan saling mengasihi. Jangan juga merasa bahwa jika pendapat saya ditolak, lalu wibawa saya hilang. Tidak begitu arti kepemimpinan. Pemimpin itu tidak tahu segalanya, maka dia membutuhkan masukan dari banyak orang soal keputusan yang harus diambilnya. Alangkah eloknya sebuah keputusan itu lahir dari sebuah kebersamaan.
Kadang pemimpin harus malu karena sumber persembahan organisasi datang dari bawah tapi gaya kepemimpinan bersifat otoriter dan tidak mau mendengarkan. Presiden sebuah negara saja dikritik jika dia tidak bisa berdialog dan berkomunikasi serta melayani rakyatnya yang notabene bayar pajak, mengapa pemimpin rohani merasa berbeda dalam prinsip melayani? Seolah-olah pemimpin mau berkomunikasi “uangmu tidak bisa atur saya”. Memang harus diingat bahwa pemimpin tidak boleh takluk dengan si pemberi persembahan. Namun tidak elok bersikap ekstrim dengan merasa bahwa jabatan pemimpin itu segalanya. Mendengarkan tidak sama dengan diatur orang. Itu adalah dinamika di mana pemimpin harus berani mengungkapkan pendapatnya tanpa merasa ada tekanan tapi pada saat yang sama penuh kasih melayani orang di bawah kekuasaan si pemimpin. Jadi mendengarkan dan menerima pandangan adalah sebuah dinamika untuk menemukan titik penyelesaian dan bukan bermaksud untuk diatur orang. Jangan merasa rendah diri, apalagi tidak mau bicara di depan orang tapi di belakang baru bicara. Pemimpin harus percaya diri bahwa dia adalah pemimpin yang ditetapkan Tuhan. Hanya kemudian tetap diingat “Jangan mentang-mentang”. Itu nasihat mentor saya almarhum Pendeta Peter Anggu.